cr: Pinterest |
Kata orang tua dahulu, banyak anak banyak rezeki. Pun
dengan berteman. Banyak teman, berarti banyak rezeki, katanya. Tapi sejak remaja,
aku tak pernah setuju dengan pepatah tersebut. Aku lebih nyaman berteman dengan
segelintir orang saja. Sejak SMP, SMA, hingga duduk di bangku Perguruan Tinggi.
Ya itu-itu saja. Bisa lah dihitung dengan jari teman-teman yang rutin ku temui untuk
sekedar ngopi ataupun rumpi.
Adakah yang bisa menjamin orang (yang dirasa) terdekat akan selalu stay the same? Tidak ada. Namanya
manusia, selalu saja menyimpan “kejutan”. Walaupun sudah berteman sekian lama,
tidak ada jaminan mereka tidak talking
trash behind your back loh ya. Atau lebih parahnya, menaruh curiga tanpa
fakta dan realita. Playing innocent di
depan, sampai kamu mendengar kalau kamu ternyata jadi kambing hitam diantara
pertengkaran yang kamu pun tak tahu menahu masalahnya. Isn’t that pathetic? Aku pikir kita sudah cukup dewasa untuk
hal-hal bullshit seperti itu. Why don’t you just ask personally if there’s
something that bothering you rather than bullshitting? Aku tidak habis
pikir saja. Apparently, being nice to
someone is not always nice, ya.
Setelah ku pikir-pikir, aku
bisa saja lebih memilih keinginan pribadi ku, daripada menyetujui untuk turut andil dalam hari yang konon spesial itu. Tapi aku lebih memilih hari besarmu.
Sayangnya, little did I know, ada
pihak-pihak yang kecewa setelahnya. Kecewa untuk hal-hal yang fatamorgana. Bukan
hanya satu orang. Dua orang? Oh tidak. Tiga orang sekalian. Ditambah satu orang
lagi sebagai kompornya. Haha. Lucu, ya? Bayangkan saja, orang-orang yang sudah
kau anggap seperti keluarga, bahkan bisa menaruh curiga begitu saja. Begitu
seterusnya hingga berbulan-bulan lamanya, dan kau akhirnya tau dari mulut
lainnya. Jika saja saat itu aku egois, mungkin tidak begini akhirnya. Tapi,
sudahlah. At least, universe shows me
those people’s true color.
-
A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar