Mei 18, 2018

Pertemanan dan Bumbu Memuakkannya

cr: Pinterest
Kata orang tua dahulu, banyak anak banyak rezeki. Pun dengan berteman. Banyak teman, berarti banyak rezeki, katanya. Tapi sejak remaja, aku tak pernah setuju dengan pepatah tersebut. Aku lebih nyaman berteman dengan segelintir orang saja. Sejak SMP, SMA, hingga duduk di bangku Perguruan Tinggi. Ya itu-itu saja. Bisa lah dihitung dengan jari teman-teman yang rutin ku temui untuk sekedar ngopi ataupun rumpi.
            Adakah yang bisa menjamin orang (yang dirasa) terdekat akan selalu stay the same? Tidak ada. Namanya manusia, selalu saja menyimpan “kejutan”. Walaupun sudah berteman sekian lama, tidak ada jaminan mereka tidak talking trash behind your back loh ya. Atau lebih parahnya, menaruh curiga tanpa fakta dan realita. Playing innocent di depan, sampai kamu mendengar kalau kamu ternyata jadi kambing hitam diantara pertengkaran yang kamu pun tak tahu menahu masalahnya. Isn’t that pathetic? Aku pikir kita sudah cukup dewasa untuk hal-hal bullshit seperti itu. Why don’t you just ask personally if there’s something that bothering you rather than bullshitting? Aku tidak habis pikir saja. Apparently, being nice to someone is not always nice, ya.
            Setelah ku pikir-pikir, aku bisa saja lebih memilih keinginan pribadi ku, daripada menyetujui untuk turut andil dalam hari yang konon spesial itu. Tapi aku lebih memilih hari besarmu. Sayangnya, little did I know, ada pihak-pihak yang kecewa setelahnya. Kecewa untuk hal-hal yang fatamorgana. Bukan hanya satu orang. Dua orang? Oh tidak. Tiga orang sekalian. Ditambah satu orang lagi sebagai kompornya. Haha. Lucu, ya? Bayangkan saja, orang-orang yang sudah kau anggap seperti keluarga, bahkan bisa menaruh curiga begitu saja. Begitu seterusnya hingga berbulan-bulan lamanya, dan kau akhirnya tau dari mulut lainnya. Jika saja saat itu aku egois, mungkin tidak begini akhirnya. Tapi, sudahlah. At least, universe shows me those people’s true color.

-
A

Tidak ada komentar:

Posting Komentar